Memahami Makna Israf dan Tabdzir

 Memahami Makna Israf dan Tabdzir

Ilustrasi

وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا

“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra’ [17]: 26-27)

KATA israf dan tabdzir masing-masing memiliki makna bahasa dan syara’. Arti kata saraf dan israf -menurut makna bahasa adalah melampaui batas serta i’tidal, lawan dari kata qashdu.

Sedangkan kata tabdzir dipergunakan dalam kalimat: badzara al-mal tabdziran (menghamburkan-hamburkan harta), maknanya satu akar kata dengan israfan dan badzratan. Kedua kata itu menurut makna syara’ adalah menafkahkan harta untuk perkara-perkara yang telah dilarang Allah.

Sedangkan untuk perkara-perkara yang diperintahkan, baik sedikit maupun banyak, bukan termasuk israf juga bukan tabdzir. Namun setiap bentuk nafkah (pengeluaran) untuk perkara yang dilarang Allah, baik sedikit maupun banyak adalah israf dan tabdzir (menurut makna syara’). Demikian dijelaskan dalam kitab Hadits As-Shiyam.

Imam az-Zuhri meriwayatkan, bahwa tatkala beliau menyatakan firman Allah, “Dan janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu di atas lehermu, dan janganlah membukanya lebar-lebar.” (QS. Al-Isra’ [17]: 29), beliau berkomentar: Janganlah kamu mencegah tanganmu dari kebajikan, serta jangan dipergunakan memberikan nafkah untuk kebatilan.

Kata israf termaktub dalam Surat Al-Furqan ayat 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka, tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan) itu di tengah-tengah antara yang demikian.”

Israf yang dimaksud dalam ayat ini semata-mata menafkahkan harta untuk kemaksiatan. Adapun untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak tergolong israf. Ayat tersebut artinya: “Janganlah kalian menafkahkan harta-harta kalian untuk kemaksiatan, dan jangalah kalian bakhil (kikir) terhadap sesuatu yang mubah. Bahkan nafkahkanlah harta tersebut dalam perkara mubah -berupa ketaatan sebanyak-banyaknya.”

Dengan demikian menafkahkan (harta) untuk selain perkara mubah adalah tindakan tercela. Dan bakhil (kikir) dalam perkara mubah juga tercela. Yang terpuji adalah memberikan nafkah untuk perkara mubah dan ketaatan.

Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al An’am [6]: 141)

Dalam ayat ini Allah mencela tindakan israf, yaitu infak untuk kemaksiatan. Kata israf dalam ayat-ayat tersebut maknanya adalah infak (memberikan harta) untuk perkara maksiat.

Kata israf dan musrifin disebutkan dalam Al-Qur’an dalam banyak arti. Namun apabila kata israf disebut bersamaan dengan kata infak, maknanya adalah memberikan harta untuk tindakan maksiat.

Al-Qur’an menyatakan kata musrifin dengan makna mu’ridhin ‘an dzikrillah (melalaikan zikir kepada Allah). Allah berfirman: “Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus [10]: 12)

Kata musrifin kadang-kadang bermakna keburukannya melebihi kebaikannya. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka.” (QS. Al-Mu’min [40]: 43)

Kata musrifin diartikan juga dengan mufsidin (yang membuat kerusakan), sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu perintah orang-orang yang melampaui batas, yang membuat kerusakan di muka bumi.” (QS. Asy-Syu’ara [42]: 151 -152)

Dengan demikian, kata israf dan musrifin itu memiliki beberapa makna syara’. Oleh karena itu, penafsiran menurut makna bahasa tidak lagi diperbolehkan. Bahkan, harus dibatasi hanya menggunakan makna syara’ saja.

Karena itu setelah meneliti kata musrifin, israf, mubadzirin dan tabdzir dalam Al-Qur’an, dijumpai hanya satu makna, yakni menafkahkan harta dalam perkara yang haram. Wallahu a’lam. [SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *