Masa Kekhalifahan, Aspal Jadi Obat Kulit dan Penerangan

 Masa Kekhalifahan, Aspal Jadi Obat Kulit dan Penerangan

CIVILITA.COM – Pada pembahasan sebelumnya, dibahas soal aspal yang digunakan untuk jalan pada masa kejayaan Islam. Sehingga, infrastruktur jalan pada masa kekhalifan Islam begitu mulus, sama sekali tidak ditemukan jalan berlubang.

Untuk pembahasan selanjutnya, bahwa pada masa keemasan Islam, aspal juga digunakan sebagai obat penyakit kulit dan juga sebagai bahan bakar untuk penerangan. Pengolahan aspal kuno pertama kali dikuasai oleh bangsa Babilonia. Akan tetapi teknik pengolahan aspal secara modern pertama kali justru ditemukan oleh ilmuan Muslim. Salah satu yang paling terkenal adalah ‘Ali ibnu al-‘Abbas al-Majusi pada 950 M. Ia sudah mampu menghasilkan minyak dari endapan aspal yang hitam.

Di dunia Barat, ia seringkali dipanggil dengan nama Haly Abbas. Dokter dan psikolog Muslim ini turut berjasa dalam mengembangkan teknologi pengolahan aspal menjadi minyak. Sebelum masuk Islam, ia adalah penganut agama Majusi yang menyembah api. Ia berhasil mengolah aspal menjadi endapan minyak yang dapat mengobati penyakit dan luka kulit. Caranya dengan mengambil endapan aspal yang dipanaskan untuk diambil airnya.

Ilmuan muslim lainnya yang berhasil membuat aspal menjadi minyak adalah Al-Mas’udi. Al- Mas’udi berhasil membuat aspal menjadi cairan minyak dengan menggunakan dua kendi berlapis yang dipisahkan oleh kasa atau ayakan. Kendi bagian atas diisi dengan aspal lalu dipanaskan dengan api. Hasilnya, cairan minyak menetes ke kasa dan ditampung di dasar kendi. Hal ini dilakukan mengingat sifat aspal yang menjadi cair apabila mengalami panas dan menjadi keras apabila berada dalam suhu dingin.

Minyak Tanah

Temuan lain yang tak kalah penting dalam sejarah teknologi Islam adalah pembuatan minyak tanah yang berasal dari aspal. Minyak tanah ini dihasilkan melalui proses teknik destilasi yang disebut dengan taqrir. Teknik ini dikembangkan oleh Al-Razi. Berbekal pengetahuan inilah, pada abad ke-12 peradaban Islam sudah menguasai proses pembuatan minyak tanah atau naphta. Ketika itu, minyak tanah telah dijual besar-besaran. Di jalan-jalan kota Damaskus dapat ditemukan dengan mudah orang-orang yang menjual minyak tanah. Begitu pula dengan suasana di Mesir. Setiap harinya, masyarakat Mesir dapat menghabiskan 100 ton minyak untuk bahan bakar penerangan.

Dalam masalah pelapisan jalan, para ilmuan Islam terus mengembangkan teknologi pengolahan aspal seperti yang dilakukan oleh para insnyur Muslim di Nebukadnezar. Tak hanya aspal, mereka menggunakan pasir sebagai bahan pencampur untuk menghasilkan lapisan jalan yang lebih kuat dan lentur. Campuran pasir dan aspal sebagai pelapis jalan ini dikenal dengan nama ghir. Jika digunakan untuk mengaspal jalan, campuran tersebut sangat kuat dan lekat. Tak hanya untuk melapisi jalan, kapal dan kamar mandi juga dilapisi dengan campuran ghir ini.

Tak hanya untuk melapisi jalan, aspal juga digunakan dalam berbagai macam aktivitas kehidupan di era kejayaan Islam. Di antaranya adalah dalam sektor pertanian, kedokteran, dan industri tekstil. Untuk membuat pewarna hitam yang digunakan pada kain, ilmuan Islam membakar aspal dan mengumpulkan jelaga yang dihasilkan dari pembakaran tersebut sebagai bahan baku pewarna.

Di Sisilia, Spanyol, dan Suriah, para petani Muslim telah terbiasa membakar campuran aspal dan belerang di bawah pohon atau semak-semak untuk membasmi hama ulat dan serangga yang membahayakan tanaman lainnya. Layaknya Al-Majusi, dokter Muslim lainnya pun kemudian menggunakan aspal sebagai obat tetes dan oles guna menyembuhkan penyakit kulit dan luka-luka. [Muis/Sahid]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *