KH. Ahmad Marzuki al-Batawi, Ulamanya Para Ulama Betawi
CIVILITA.COM – Kiai Haji Ahmad Marzuki al-Batawi adalah salah seorang ulama legendaris yang memiliki peran penting dalam penyebaran dakwah Islam di tanah Betawi (sekarang Jakarta dan sekitarnya-red). Oleh masyarakat Ahmad Marzuki akrab dipanggil Guru Marzuki.
Guru Marzuki lahir dan besar di tanah Betawi. Ia dilahirkan pada 16 Ramadan 1293 H di Meester Cornelis, Batavia atau sekarang dikenal Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur. Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia.
Belajar ke Mekah
Diusia 9 tahun ayah Guru Marzuki wafat. Kemudian ia diasuh oleh ibunda dengan kesederhanaan dan penuh kasih sayang. Usia 12 tahun Marzuki diserahkan kepada sorang ustadz ahli fikih bernama Haji Anwar untuk mendapat pengajaran Al-qur’an dan berbagai disiplin ilmu agama Islam lainnya.
Usia 16 tahun Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats) dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasannya, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah, Arab Saudi guna menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu. Guru Marzuki bermukim dan belajar Islam di Mekah selama 7 tahun.
Kesempatan di Mekah benar-benar ia gunakan untuk menuntut ilmu, sehingga dalam waktu hanya 7 tahun saja beliau telah mencapai segala apa yang dicita-citakannya, yakni menguasai ilmu agama untuk selanjutnya diamalkan, diajarkan, serta dikembangkan di tanah kelahirannya. Selama di Mekah Guru Marzuki mempelajari berbagai disiplin ilmu mulai dari nahwu, shorof, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu falak (astronomi).
Dari sekian ilmu yang ia dalami, Guru Marzuki sangat menonjol di bidang ilmu Hadist. Bahkan ia disebut sebagai pakar Hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran Hadits-hadits Nabi di Indonesia dan menjaga periwayatan sanadnya. Hal ini terungkap dalam disertasi doctoral Daud Rasyid di Fakultas Darul Ulum, Cairo University, Mesir, halaman 63 – 66.
Dalam menggali ilmu, sejumlah ulama terkemuka di Haramain pernah didatangi Marzuki. Diantara ulama yang pernah didatangi Marzuki adalah Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani, Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami, Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori, Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi, Syekh Umar al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi, Syekh Sa’id al-Yamani, Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi, dan Syekh Muhammad Ali al-Maliki.
Memasuki waktu 7 tahun di Mekah, Marzuki menerima sepucuk surat dari Sayyid ‘Utsman yang meminta agar dirinya dapat kembali ke Jakarta. Maka, pada 1332 H atas pertimbangan dan persetujuan guru-gurunya di Mekah beliau kembali pulang ke Jakarta dengan tugas menggantikan Sayyid ‘Utsman (guru beliau) dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada murid-muridnya.
Belajar Unik
Setibanya di tanah air, atas permintaan Sayid Usman, Marzuki mengajar ilmu keislaman di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Kemudian di Cipinang Muara ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas.
Santri yang mondok dan belajar kepada Guru Marzuki tidak banyak, hanya sekitar 50 orang. Cara mengajar Guru Marzuki kepada santrinya terbilang unik di masa itu, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para santri mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca.
Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.
Mengajar dengan cara duduk yang lazim digunakan ulama-ulama lainnya ketika itu hanya dilakukan oleh Guru Marzuki saat mengajarkan masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu.
Cetak Ulama Betawi
Dari sekian banyak murid-muridnya, ada beberapa nama yang kemudian menjadi ulama dan pejuang beken penerus perjuangan dakwah di Betawi. Seperti KH. Noer Alie, pendiri Pesantren At-Taqwa, Bekasi dan KH. Abdullah Syafi’i, pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin.
Selain itu, murid-murid lainnya adalah KH. Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul Malik (putra Guru Marzuki), KH. Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan, Jakarta), KH Abdul Jalil (tokoh ulama dari Tambun, Bekasi), KH. Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH Mursyidi, dan KH. Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam al-Falah, Klender, Jakarta Timur).
Pengaruh dan kontribusinya ini membuat Guru Marzuki disebut-sebut sebagai satu dari enam pendekar-ulama Betawi. Dalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni (Guru Mughni) dari Kuningan, Jakarta Selatan.
Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini adalah hasil dari didikan ulama Haramain yang sukses melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka menjangkau hampir seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Sosok Tawadu’
Guru Marzuki wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Jasadnya dimakamkan sesudah sholat Ashar yang dihadiri oleh para ulama dan berbagai lapisan masyarakat, yang jumlahnya sangat banyak sehingga belum terjadi saat-saat sebelumnya. Sayyid ‘Ali bin Abdurrohman Al-Habsyi (Habib’ Ali Kwitang) menjadi imam dalam salat jenazah Guru Marzuki.
Semasa hidupnya, Guru Marzuki menulis beberapa, yakni kitab Zahrolbasaatin fibayaanillaili wal barohin (1348 H), Tamrinulazhan al-ajmiyah fima’rifatitirof minal alfadzil’arobiyah (1348 H), Miftahulfauzal’abad fi’ilmil fiqhul MUHAMMADA (1350 H), Tuhfaturrohman fibayaniakhlaqi bani akhirzaman, Sabilittaqlid, dan Sirojul Mubtadi.
Guru Marzuki dikenal sebagai sosok yang dermawan, tawadu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, juru dakwah, dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî. [Muis]