Ketika Nabi Saw Diguncang Fitnah
CIVILITA.COM –
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nur: 11)
Fitnah ini mengenai istri Rasulullah Saw, ‘Aisyah r.a Ummul Mukminin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya’ban tahun ke-5 Hijriyah. Perperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula ‘Aisyah dengan Nabi saw berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau.
Dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. ‘Aisyah keluar dari haudaj (rumah kecil terpasang di atas punggung unta) untuk suatu keperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa ‘Aisyah masih ada dalam haudaj tersebut.
Setelah ‘Aisyah mengetahui haudajnya sudah berangkat, maka dia duduk di tempatnya berselimutkan jilbab dan mengharapkan haudaj itu akan kembali menjemputnya. Kemudian, lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi yang ditugaskan di belakang pasukan, Shafwan Ibnu Mu’aththal. Demi melihat seseorang sedang tidur sendirian Shafwan terkejut seraya mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, istri Rasulullah!” ‘Aisyah terbangun. Lalu dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Shafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Nahri Adh-Dhahirah tempat pasukan turun istirahat.
Di sinilah mulai tersiar fitnah tentang ‘Aisyah ra. Fitnah ini bersumber dari mulut tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul. Orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut pendapat masing-masing. Kemudian kaum munafik membesar-besarkannya. Maka fitnah atas ‘Aisyah ra itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin.
Dr. Muhammad Abdullah Duraz di dalam kitabnya, An-Naba‘ul Azhim, seperti dikutip Dr Muhammad Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh Shirah-nya menjelaskan hakekat peristiwa ini:
“Tidakah kaum munafiq geram dengan membuat berita bohong tentang istri Nabi saw, Aisyah ra, Sementara wahyu pun diperlambat penurunannya sekian lama dan orang-orang pun ramai membicarakan, sampai hati terasa telah mencapai kerongkongan. Sedangkan Nabi saw sendiri tidak dapat bertindak apa-apa kecuali berkata dengan penuh hati-hati: “Saya tidak mengetahui Aisyah kecuali orang yang baik-baik.“ Kemudian setelah berusaha secara maksimal dengan bertanya dan meminta pandangan para sahabatnya, setelah lewat sebulan penuh dan orang-orang pun telah menyatakan: “Kami tidak melihat adanya kejahatan sedikit pun pada dirinya (Aisyah ra), Nabi saw masih tetap tidak melakukan tindakan apa-apa kecuali berkata kepadanya:
“Hai, Aisyah! Aku telah mendengar tentang apa yang digunjingkan orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah maka Allah pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa maka mintalah ampunan kepada Allah!“.
Ucapan ini merupakan cetusan kata hatinya. Ia adalah ungkapan seorang yang tidak mengetahui alam ghaib dan ucapan orang yang jujur, yang tidak memperturutkan prasangka dan tidak mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Setelah mengucapkan kalimat tersebut dan belum sempat beranjak dair tempat duduknya, turunlah awal surat An-Nur yang menjelaskan ketidak-bersalahan Aisyah ra dan menyatakan kesuciannya.
Apakah kiranya yang menghalangi Nabi Saw untuk menyatakan ketidak-bersalahan Aisyah sejak hari pertama dan mengatakan sebagai wahyu dari langit, guna membantah para pendusta itu? Tetapi, dia tidak pernah punya niat untuk berdusta kepada manusia dan Allah:
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pedang dia pada tangan kanannya. Kemudian sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.“ (QS al-Haaqqah : 44-47)
Adakah Aisyah ra orang yang pertama kali memahami kedua hakekat ini, sehingga segera mentauhidkan Allah dan memberikan ubudiyah hanya kepada-Nya dengan melupakan segala sesuatu dan siapa pun selain-Nya. Oleh karena itu, dia menjawab ibunya ketika meminta agar dia berdiri mengucapkan terimah kasih kepada Nabi saw, seraya berkata: “Aku tidak akan berdiri (berterima kasih) kepadanya dan aku tidak akan memuji kecuali kepada Allah, karena Dia-lah yang membebaskan aku.“
Pernyataan Aisyah ra sepintas tampak kurang layak diucapkan di hadapan Nabi Saw. Tetapi situasi dan kondisi pada saat itu mendorong keluarnya ucapan tersebut. Penuturan kalimat itu keluar atas dorongan keadaan yang telah dibentuk oleh hikmah Ilahiyah untuk memperteguh akidah kaum Muslimin dan membantah kedustaan orang-orang munafik, serta menampakkan makna tauhid dan ubudiyah yang utuh kepada Allah semata.
Demikianlah kisah berita bohong ini telah mengandung hikmah Ilahiyah yang bertujuan memantapkan akidah Islamiyah dan membersihkan segala bentuk keraguan yang mungkin dapat menyentuhnya. Itulah makna kebaikan yang diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya: “Janganlah kamu mengira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.“ (QS An-Nur : 11). Wallahu a’lam bissawab. [MSR]