Kekhasan Ibadah Seorang Muslim

 Kekhasan Ibadah Seorang Muslim

Ilustrasi: seorang bocah mengikuti shalat Idulfitri 1443 H di JIS.

Ibadah yang dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT memiliki kekhasan tersendiri. Di antaranya adalah bersifat taufiqiyah, tanpa illat, ikhlas lillahi taala, sesuai syariat, tanpa perantara dan mudah. Demikian dijelaskan Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasat fil Fikr Al-Islami.

Pertama, Ibadah bersifat tauqifiyyah. Dalam hal praktik ibadah, seorang muslim terikat dengan apa-apa yang telah disebutkan di dalam nash yang berasal dari wahyu Allah.

Seorang muslim menunaikan shalat, haji, puasa, dan lain-lain dengan tatacara tertentu. Sebagai contoh, yaitu seseorang tidak boleh meletakkan kedua tangannya di punggungnya selama ia berdiri dalam keadaan sholat. Sebab, tata cara semacam ini tidak disebutkan di dalam nash manapun. Demikian juga ia tidak boleh menunaikan kewajiban haji pada bulan Ramadhan. Sebab, Allah telah menentukan pelaksanaan haji pada waktu tertentu. Sabda Rasulullah Saw: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.”

Baca juga: Ibadah, Pengertian dan Tujuannya

Beliau juga bersabda: “Ambillah oleh kalian dariku amal ibadah (haji) kalian.”

Kedua, Ibadah tidak memiliki ‘illat. Hukum-hukum ibadah tidak mengandung ‘illat syar’iyyah. Kebersihan, misalnya, bukanlah ‘illat bagi wudhu. Begitu juga kesehatan bukanlah ‘illat bagi shalat. Sebab, hukum sesuatu yang mengandung ‘illat (al-hukm al-mu’allal) adalah suatu hukum dimana ada dalil yang menyebutkan atas kandungan ‘illat hukum tersebut. Sedangkan hukum-hukum ibadah, tidak disebutkan adanya ‘illat syar’iyyah-nya. Definisi ‘illat itu sendiri adalah perkara-perkara yang dapat membangkitkan suatu hukum (al-amr al-baa-‘its ‘alaa al-hukm).

Ketiga, Ibadah hanya ditujukan kepada Allah semata. Ibadah ditujukan untuk mengatur hubungan manusia dengan Rabbnya. Seorang muslim tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam hal beribadah. Allah Ta’ala berfirman: …janganlah kalian menyeru tuhan lain selain Allah… (QS. Al Qashash [28]: 88).

Begitu pula firman-Nya: …dan janganlah dia menyekutukan Rabb-nya dengan seorangpun dalam beribadah. (QS. Al Kahfi [18]: 110).

Keempat, Ibadah tidak akan diterima kecuali disertai niat yang ikhlas karena Allah. Salah satu syarat diterimanya ibadah adalah niat yang ikhlash karena Allah. Misalnya, apabila seorang muslim melakukan sholat namun tidak diniatkan karena Allah maka sholatnya tidak akan diterima. Sholat semacam ini tidak akan mendapat pahala apa-apa. Maksudnya adalah kewajiban sholat itu tetap belum gugur bagi pelakunya. Sabda Rasulullah Saw: Sesungguhnya amal-amal itu dengan niatnya…

Makna ‘amal-amal’ dalam hadits tersebut adalah amal-amal ibadah. Sebab, selain dari amalan ibadah tidak disyaratkan adanya niat. Oleh karena itu jika Anda melepaskan peluru kepada seseorang (tanpa sengaja, red), kemudian Anda membuatnya terbunuh, maka Anda tetap akan dianggap sebagai pelaku pembunuhan, sekalipun Anda membela diri dengan mengatakan bahwa Anda sama sekali tidak berniat untuk membunuhnya.

Kelima, Tiada perantara dalam ibadah antara seorang hamba dengan Allah. Allah SWT berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah [2]: 186). Sedangkan doa merupakan otak (inti/pokok) dari ibadah (mukhkhul ‘ibaadah).

Keenam, Kemudahan dan keringanan dalam penegakan ibadah

Allah tidak membebankan kepada seseorang (manusia) melebihi dari apa yang disanggupinya. Allah berfirman: Allah tidak membebankan atas diri seseorang kecuali sekadar kemampuannya… (QS. Al Baqarah [2]: 286).

Allah telah menetapkan aturan tentang adanya keringanan (rukhshah) dalam ibadah. Misalnya Allah telah memberi rukhshah bagi orang sakit untuk sholat sambil duduk. Begitu pula bagi orang yang sedang safar (musaafir) diperbolehkan untuk berbuka (tidak shaum) di bulan Ramadhan, disamping Allah telah menggugurkan kewajiban jihad bagi orang yang buta, pincang, dan sakit. Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah.” [SR]