Jangankan Gurunya, Murid yang Belajar Al-Qur’an pun Digaji

Ilustrasi
PENDIDIKAN adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Sementara negara berkewajiban menjadikan sarana-sarana dan tempat-tempat pendidikan.
Pendidikan menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas Baitul Maal.
Syekh Abdul Aziz Al Badri dalam bukunya “Al-Islam, Dlaaminun lil Haajaat Al Asaasiyah Likulli Fardin wa Ya’malu Lirafaahiyatihi,” menulis bahwa Imam Ibnu Hazm, dalam kitab “Al-Ahkaam” setelah memberikan batas ketentuan untuk ilmu-ilmu yang tidak boleh ditinggalkan, agar ibadah dan muamalah kaum muslimin dapat diterima (sah), beliau menjelaskan bahwa seorang imam atau kepala negara berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan sampai pada ungkapannya: “Diwajibkan atas seorang imam untuk menangani masalah itu dan menggaji orang-orang tertentu untuk mendidik masyarakat”.
Rasulullah Saw telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan Perang Badar. Beliau katakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan, apabila seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.
Kita mengetahui bahwa barang tebusan itu tidak lain adalah hak milik Baitul Maal. Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam Perang Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke Baitul Maal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis), berarti Rasulullah Saw telah menjadikan biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, Beliau Saw memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Maal.
Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin Atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas jerih-payah itu beliau memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap bulan. Jika dikonversi dengan nilai rupiah hari ini (1 dinar = Rp3.345.000), gaji yang diberikan negara kepada guru ngaji ini setara dengan Rp50.175.000.-
Prof. Raghib As-Sirjani dalam bukunya, “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia” menulis, hal pertama yang dilakukan oleh negara di masa pemerintahan Islam adalah memenuhi gaji untuk mencukupi kebutuhan para ilmuwan dan para guru agar kehidupan mereka menentramkan.
Menurut Profeson Raghib, Syekh Najamuddin Al-Habusyani yang diangkat oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayubi untuk mengajar di Sekolah Ash-Shalahiyah diberi gaji setiap bulannya antara lain 40 dinar sebagai pengajar, 19 dinar sebagai penanggungjawab wakaf sekolah, dan enam puluh liter roti setiap harinya serta aliran air sungai Nil setiap hari. Gaji berupa uang itu jika dikonversi hari ini setara dengan Rp197.355.000.- Angka yang fantastis, setara dengan gaji komisaris atau direksi perusahaan-perusahaan besar saat ini.
Bukan hanya guru, ilmuwan atau kepala sekolah yang berhak mendapatkan gaji. Bahkan, mereka yang belajar Al-Qur’an pun juga mendapatkan gaji. Hal ini seperti diriwayatkan Abu Ubaid al-Qasim dalam kitabnya, “Al Amwal”:
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari ayahnya Sa’ad bin Ibrahim bahwa Umar ibnul Khaththab telah mengirimkan surat kepada sebagian gubernurnya, yang isinya adalah, “Berikanlah gaji kepada orang yang mempelajari Al-Qur’an.” Lalu sebagian gubernurnya membalas surat Umar tersebut, yang isinya, “Engkau telah menginstruksikan kepadaku supaya memberikan gaji kepada orang yang belajar Al-Our’an. Tetapi yang dikhawatirkan bahwa ada orang yang tidak memiliki minat mempelajari Al-Qur’an, selain ingin mendapatkan gaji saja.” Kemudian Umar membalas surat itu, yang isinya, “Berikanlah gaji itu kepada orang yang memiliki sifat muru’ah dan para sahabat.” Wallahu a’lam. [SR]