Inilah Komitmen Menikah Karena Allah
CIVILITA.COM – Tidak sedikit lajang yang lemah dalam komitmennya menuju pernikahan. Hanya sekedar pengin menikah, atau bahkan kebelet menikah. Ada yang menikah hanya karena ingin ada tempat ngobrol. Yakin hanya karena ingin ngobrol? obrolan sekarang kan digantiin gadget? Ada yang menikah sekadar ingin ada yang masakin. Yakin pengin ada yang masakin? Warung nasi di pengkolan masih banyak?
Ada yang menikah karena ingin ada yang mijit kalo capek. Helo, itu istri apa tukang pijat ya? Ada yang menikah hanya ingin ada yang ngasih uang jajan. Online shop, penggiatnya banyak ibu dan bujangwati. Ada yang menikah biar ada yang boncengin kalo ada pertemuan. Owh gitu? Jadi suami itu mirip tukang ojek ya? Ada yang menikah katanya ingin biar nggak disebut jomblo ngenes. Yakin? Trus apa nanti kalo nikah nggak bakalan ngenes?
Saya tidak mengatakan alasan teman-teman yang diatas tadi ‘salah’, melainkan itu komitmen menikah yang ‘lemah’. Memang mungkin ada sebagian yang menikah dengan alasan-alasan diatas, trus akhirnya bisa langgeng sampai sekarang. Tapi tentu “mempersiapkan” akan jauh lebih baik, daripada “tidak dipersiapkan”, akan terkesan tergesa-gesa, kebelet dan sejenisnya.
Pun dengan pernikahan. Dianya butuh persiapan, dan persiapan itu diawali dengan komitmen menikah karena apa atau karena siapa. Banyak yang mengatakan “aku menikah karena Allah”, tapi kata-kata itu meluncur dari mulut, tanpa disertai pemahaman yang memadai. Komitmen menikah karena Allah adalah menjadikan atau meletakkan Allah di awal, di tengah dan di akhir pada setiap langkah pernikahan. Jika meletakkan Allah diawal berarti bersiap diri untuk diatur Allah ketika menjelang perkenalan (ta’ruf), khitbah hingga menikah. Orang yang berkomitmen menikah karena Allah, tapi enggan diatur atau malah melanggar syariat Allah, itu kebohongan yang besar. Mereka yang berkomitmen menikah karena Allah tapi melaluinya dengan cara yang dilarang oleh syariat Allah, dia sedang meledek Allah.
Kemudian meletakkan Allah ditengah maksudnya komitmenlah bahwa saat perjalanan pernikahan nanti, tetap jadikan Allah sebagai guidence. Saat sedang ta’aruf/khitbah tidak menjadikan perasaan sebagai panglima pemutus perkara, tapi hanya Allah satu-satunya panglima hidup kita. Kemudian meletakkan Allah di akhir maksudnya berkomitmen jika akhirnya dalam proses tak berjodoh kita ridla terhadap Qadla-Nya.
Jadi, jika komitmen menikah masih seperti dicontohkan diatas tadi, perlu diperbaharui dengan komitmen yang lebih kuat. Tidak salah, tapi itu lemah. sebab kalo hanya “karena itu”, maka setelah “karena itu”-nya tercapai, ya berarti sudah, selesai. Bukan, bukan begitu pernikahan. Sebab pernikahan itu bukan hanya sekedar “pengin” saja, tapi karena kita “butuh” dan “siap”. Makanya orang yang punya komitmen menikah, sebenarnya ta’aruf itu dikomitmenkan/ di azamkan untuk menikah, not for trial.
Orang yang komitmen menikahnya lemah, cenderung akan “mempermainkan” ta’aruf atau khitbah, hati-hati saja. Padahal ta’aruf seharusnya diajukan bukan karena hanya sekedar “pengin” menikah, tapi karena memang sudah siap menikah. Semoga sahabat-sahabatku, ikhwan-akhwat terhindar dari miskin komitmen menuju pernikahan. [lukyrouf]