Ini Ulama-ulama Ahli Ilmu Falak Asal Indonesia

 Ini Ulama-ulama Ahli Ilmu Falak Asal Indonesia

CIVILITA.COM -Dalam sejarah peradaban manusia, ilmu falak merupakan ilmu yang tergolong sudah tua. Bangsa-bangsa seperti Mesir, Mesopotamia, Tiongkok, dan Babilonia sejak abad ke-20 sebelum Masehi telah mengenal dan mempelajari ilmu tersebut.

Ilmu falak mempunyai peranan yang penting bagi umat Islam. Tanpa ilmu tersebut kaum Muslimin tidak bisa mengetahui apakah hari ini sudah masuk waktu shalat atau belum? Atau ketika shalat apakah sudah menghadap kiblat atau belum?

Karena begitu pentingnya bagi keberlangsungan ibadah, maka penguasaan khazanah ilmu yang dianggap kuno itu mutlak dilakukan kaum Muslimin Indonesia sepanjang masa. Dari masa ke masa Indonesia tidak putus-putusnya melahirkan ulama ahli ilmu falak.
Siapa saja ulama-ulama ahli ilmu falak tersebut? Berikut nama-nama yang masyhur.

1. Muhammad Manshur bin Abdul Hamid
Nama lengkapnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri bin Abdul Muhid. Ia dikenal dengan sebutan Guru Manshur. Ia lahir di Jakarta pada 878 dan wafat pada hari Jum`at, 2 Shafar tahun 1387H bertepatan dengan tanggal 12 Mei 1967. Guru pertamanya dalam menuntut ilmu adalah bapaknya sendiri, KH Abdul Hamid. Beranjak dewasa, ia pergi ke Makkah, Arab Saudi dan belajar ilmu falak kepada Abdurrahman Misri, ulama asal Mesir dan Ulugh Bek, ulama asal Samarkand.

Setelah empat tahun di Makkah, Guru Manshur kembali ke Indonesia. Ia membuka majelis taklim, yang utama diajarkannya adalah pelajaran ilmu falak. Murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Betawi adalah KH Abdullah Syafi`i ( As-Syafi`iyyah) dan KH Abdul Rasyid Ramli (Ar-Rasyidiyyah).

Kini, yang meneruskan keahlian falaknya adalah KH Fatahillah Ahmadi yang merupakan salah seorang buyutnya. Sedangkan buyutnya yang lain yang kini dikenal oleh masyarakat sebagai dai kondang adalah Ustadz Yusuf Mansur.

Kalender hisab Al-Manshuriyah masih tetap eksis dan digunakan, baik oleh murid-muridnya maupun oleh sebagian masyarakat Betawi maupun umat Islam lainnya di sekitar Jabotabek, Pandegelang, Tasikmalaya, bahkan sampai ke Malaysia.

2. KH. Ahmad Dahlan
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis (ada literatur yang menulis Darwisy). Ia dilahirkan di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi bertepatan dengan tahun 1285 Hijriyah dan wafat pada 23 Februari 1923 M/ 7 Rajab 1342 H. Jenazahnya dimakamkan di Karangkajen Yogyakarta.

Dalam bidang ilmu falak Ahmad Dahlan merupakan salah satu pembaharu, yang meluruskan arah kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat yang 24 derajat arah Barat Laut.

Setelah aksi membetulkan arah kiblat di Masjid Agung, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui Muhammadiyah ia menjadi tokoh pembaharu yang mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal kiprahnya, ia kerap mendapat rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan agama baru.

Tak hanya itu, berdasarkan pengetahuan ilmu falak dan hisab yang dikuasainya, Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah, menentukan awal puasa (Ramadhan) dan Syawal dengan hisab (perhitungan).

3. KH. Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi
KH. Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi lahir di Kudus, 10 Maret 1915. Ia adalah buah hati dari Kiai Adjhuri dan Nyai Sukainah. Ia dikenal dengan sebutan Mbah Turaichan. Mbah Turaichan dibesarkan di lingkungan agamis. Kendati demikian, dalam proses menuntut ilmu ia jalani hal yang tak biasa. Bila seorang ‘calon ulama’ atau anak seorang kiai diwajibkan mondok di pesantren untuk belajar agama, maka berbeda dengan Mbah Turaichan. Sepanjang hidupnya ia tak pernah merasakan pendidikan pesantren, dalam arti diasramakan di lingkungan pesantren.

Mbah Turaichan hanya mengenyam pendidikan formal selama dua tahun saja, yakni ketika berusia 13 hingga 15 tahun. Tepatnya di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus pada tahun 1928. Namun karena kemampuannya yang melebihi rata-rata, maka beliau justru diperbantukan untuk membantu palaksanaan belajar mangajar.

Sejak mengajar di Madrasah TBS Kudus inilah, Kiai Turaichan giat belajar ilmu falak dan secara serius mempelajarinya. Perhitungan dan pengamatannya terbukti tepat, kendati hanya dengan mengandalkan pengamatan pada peredaran benda-benda langit (ru’yah al-hilal).

Mbah Turaichan pernah dipercayai menjadi Ketua Markas Penanggalan Jawa Tengah. Sumbangan beliau yang paling besar bagi umat Islam adalah penerbitan Almanak Menara Kudus. Bahkan menurut KH Choirozyad, anak sulungnya, lima tahun menjelang wafat, Mbah Turaichan masih mampu menyusun penanggalan untuk lima tahun ke depan. Ia wafat di Kudus pada tahun 1999 diusianya yang ke-86 tahun.

Kalender Mbah Turaichan diterbitkan pertama kali oleh Percetakan Masykuri Kudus pada 1942 dan kemudian, sejak 1950 hingga kini, diterbitkan oleh Percetakan Kitab Menara Kudus. Meskipun telah wafat, Turaichan masih disebut dalam kalender itu sebagai penyusunnya.

4. KH. Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary
KH Mohammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary dilahirkan di Kampung Baru, sebuah daerah di pinggir kota Jakarta pada tanggal 10 November 1924. Di tempat kelahirannya ia menghabiskan masa kecilnya dengan belajar mengenal huruf Arab sampai dengan membaca al-Qur`an.

Sumbangan pemikirannya yang paling berharga adalah dalam hal ilmu falak. Ia membuat teknologi dan tempat rukyatul hilal sendiri untuk melihat penampakan hilal (bulan sabit pertama) untuk menentukan awal Ramadhan, Syawal atau pun Idul Adha. Pelaksanaan rukyatul hilal dengan alat buatannya, terutama untuk menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha dilakukan selama bertahun-tahun bertempat di Menara Masjid Al-Husna, Cakung, Jakarta Timur.

Hasil pengamatannya lambat laun menjadi rujukan banyak pihak, terutama umat Islam yang berada di sekitar Cakung dan Bekasi. Yang mengagumkan, hasil rukyatul hilal Tim Cakung ini lebih sering sesuai dengan hasil hisab yang dilakukan oleh berbagai lembaga atau ormas Islam, antara lain Almanak Menara Kudus, Almanak Muhammadiyah, Persis dan Al Irsyad, kalender Ummul Quro Makkah, Kalender PBNU, dan Kalender DDII.

5. KH. Ahmad Badawi
KH. Ahmad Badawi lahir pada 5 Februari 1902 M/ 1320 H di Kampung Kauman Yogyakarta dan meninggal dunia pada hari Jum’at 25 April 1969 M/8 Safar 1389 H pukul 09.25 WIB di PKU Yogyakarta. Ahmad Badawi merupakan ahli falak yang pernah menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965 M/1382-1385 H dan 1965-1968 M/1385-1388 H.

Semasa kecil, ia belajar di Madrasah Ibtidaiyah Diniyyah Islamiyyah yang didirikan dan diasuh langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan. Setelah itu ia melanjutkan belajar di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena ketekunan dalam belajar, K.H. Ahmad Badawi menguasai berbagai bidang keilmuan, seperti fikih, hadis, dan falak. Semua karyanya ditulis dengan tangan dalam huruf arab maupun latin dengan rapi.

Karyanya yang berkaitan dengan ilmu falak adalah Djadwal Waktu Sholat se-lama2nja, Tjara Menghitoeng Hisab Haqiqi Tahoen 1361 H, Hisab Haqiqi, dan Gerhana Bulan. [muis/sahid]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *