Cinta Dulu Baru Nikah atau Nikah Baru Cinta
CIVILITA.COM – Ada satu kondisi yang bisa membuat seseorang terlalu lama mempertimbangkan keputusan khitbah. Kondisi itu adalah ketika ia merasa belum terbersit atau belum muncul perasaan cinta kepada wanita yang ia khitbah.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa perasaan cinta antara pria dan wanita adalah salah satu wujud gharizah an-nau’ (naluri mencintai lawan jenis) yang sesuai dengan karakter gharizah itu sendiri, ia akan muncul karena adanya dorongan eksternal. Dalam hal ini lazimnya adalah keindahan, kecantikan seorang wanita, atau ketampanan dan kegagahan seorang pria. Dengan kata lain, kecintaan akan muncul karena adanya satu ciri-ciri fisik yang membuat seseorang itu tertarik dan tergerak hati dan perasaan jinsiyyahnya. Dengan kata lain, cinta seperti ini adalah cinta yang sifatnya naluriah (gharîziyyah/instinctive).
Seharusnya mencintai dahulu lalu memilih atau memilih baru kemudian mencintai? Harus kita ingat, bahwa cinta lawan jenis yakni seperti cinta antara suami isteri dibatasi oleh Islam hanya dalam ikatan perkawinan. Artinya, di luar ikatan perkawinan cinta seperti itu hendaknya tidak terjadi. Kecintaan seseorang kepada orang lain yang berbeda jenis kelamin di luar ikatan perkawinan adalah bentuk kecintaan seorang muslim kepada saudaranya.
Jadi kecintaannya itu adalah cinta kepada sesama muslim karena keimanan dan kemuslimannya, sehingga cintanya kepada saudaranya itu sama baik kepada laki-laki maupun perempuan. Bukan cinta seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya.
Adapun berkaitan dengan seseorang yang mengkhitbah seorang wanita, maka untuk mengambil keputusan menikahi wanita tersebut tidaklah perlu menunggu setelah munculnya rasa cinta kepadanya. Karena keduanya sekalipun terikat ikatan khitbah, namun secara syar’i masih sebagai orang asing satu terhadap yang lain.
Dengan demikian hendaknya belum tumbuh rasa cinta sebagaimana kecintaan antara suami dan isteri. Karena kecintaan antara suami dan isteri menurut syariat dibatasi dalam ikatan perkawinan saja. Namun demikian, Rasul saw. menyuruh seseorang yang hendak atau sedang mengkhitbah seorang wanita agar melihatnya, yakni melihat anggota badan yang dapat mendorong untuk segera menikahi wanita itu, maka hendaklah ia melakukannya. Padahal sudah ada pesan Rasul agar mengutamakan faktor kebaikan agama. Anggota badan seorang wanita yang mendorong laki-laki yang mengkhitbah untuk segera menikahinya dapat kita pahami sebagai ciri fisik yang menimbulkan kecenderungan dan ketertarikan, di samping dengan melihat itu tidak akan timbul penyesalan di belakang hari karena adanya ciri fisik yang tidak disukai.
Dari sini, seseorang untuk mengambil keputusan menikahi wanita yang telah ia khitbah, tidak perlu menunggu munculnya perasaan cinta kepada wanita itu. Bahkan cinta kepada wanita itu sebagaimana kecintaan suami isteri hendaknya belum dimunculkan sebelum terdapat ikatan perkawinan.
Apa yang selayaknya dijadikan dasar untuk menikah adalah faktor kebaikan agama dan adanya kecocokan jiwa di antara keduanya. Oleh karena itu jika sudah terdapat kebaikan agama dalam diri wanita itu, dan juga memenuhi kualifikasi dasar bagi proses menjalani perkawinan untuk meraih kecintaan dan keridhaan Allah, maka cukup dicari adanya kecocokan di antara keduanya. Pada saat itu hendaknya segera memutuskan untuk melanjutkannya ke jenjang perkawinan.
Dengan paradigma demikian, tidak sepatutnya seseorang memerlukan waktu terlalu lama untuk mengambil keputusan dan terus tenggelam di alam pertimbangan. Sepatutnya seseorang itu segera mengambil keputusan, lalu ia perjuangkan realisasinya. [LR]