Berbagi Tugas Bukan Berbagi Peran
Jangan karena alasan wanita ingin dimengerti saat berbagi, malah kata sebagian aktivis perempuan, wanita karir, yang katanya pembela hak wanita, mengusung ide feminism atau emansipasi. Kalau yang ini bukan lagi berbagi tugas, tapi ini lebih parah, mereka seakan ingin bertukar peran dan posisi perempuan dan laki-laki.
Sedikit cerita, di Austria kesalahpahaman mengenai arti kata “Feminisme”, membuat bocah 14 tahun mau bertukar pasangan 3 kali dalam sehari. Ketika ditanya alasannya, kemudian ia menerangkan “Boys can do it, then why we can`t…saya merasa bangga bisa menaklukan 3 orang cowok dalam sehari. Dan diantara mereka tidak perlu ada yang tahu satu dengan lainnya. Itu kan yang biasa dilakukan pria, seenaknya berganti-ganti pasangan, kemudian menyakiti para gadis”.
Di belahan negara lainnya, seorang wanita menuntut persamaan toilet, karena wanita diyakini juga dapat (maaf) kencing berdiri seperti halnya pria. Saya juga pernah mendengar adanya gerakan “Feminisme bertelanjang dada” dan “gerakan pembakaran BH”.
Di Indonesia sendiri? Satu masalah saja misalnya, masalah keperawanan. Virginitas bagi wanita Indonesia (tidak semuanya), sekarang bukanlah suatu hal yang patut dipertahankan lagi. Pernah ada pertanyaan yang diajukan pada seorang teman -wanita juga- , apa yang menyebabkan wanita tak perlu lagi mempertahankan ke-virgin-annya, ia menjawab “Kalau pria saja bisa mengobral ke-virgin-annya (keperjakaan), mengapa kita harus menjaganya? Saat kita mulai menjalani hubungan itu (pacaran), kita tidak pernah tahu apakah dia masih (perjaka) atau tidak. Apalagi bukan suatu hal yang aneh lagi jika di zaman sekarang ini banyak perempuan muda yang tidak virgin lagi”.
Padahal sebagaimana telah dimaklumi, bahwa Islam telah menempat posisi laki-perempuan dan atau suami-isteri, sesuai dengan porsinya, yang ini nggak bisa digeser atau ditukar. Seperti kewajiban mencari nafkah telah dibebankan oleh Allah atas laki-laki, tidak atas wanita (QS al-Baqarah [2]: 233; QS at-Thalaq: 6). Sebaliknya, perintah untuk mendidik anak ditujukan kepada ayah dan ibu (QS at-Tahrim: 6). Karena Allah telah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga (QS an-Nisa’ [4]: 34) maka terbentuklah pembagian peran sosial antara laki-laki dan wanita. Wanita lebih mengutamakan tugasnya di rumah tangga, sementara laki-laki mencari nafkah di luar rumah. Laki-laki menjadi pemimpin yang dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah akan nasib orang yang dipimpinnya, sedangkan wanita akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah mengenai ketaatannya kepada laki-laki (suami) yang menjadi pemimpinnya.
Sementara itu, di sektor publik, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama, terutama dalam urusan dakwah dan amar makruf nahi mungkar (QS Ali Imran [3]: 104 dan 110; QS at-Taubah [9]: 71). Tidak menjadi masalah pada saat wanita tidak ikut memutuskan sesuatu yang menyangkut urusan dirinya, karena kebutuhan-kebutuhan hidupnya memang terpenuhi dengan baik. Kalaupun kebutuhannya tidak dipenuhi oleh suami atau walinya, ia akan mengingatkan pemimpinnya itu agar takut kepada Allah karena hak-haknya tidak dipenuhi.
Begitulah seharusnya. Anda bukan bertukar posisi, tapi hanya sekedar berbagi tugas. Sebagai suami kita hanya sedikit melegakan hati, meluangkan waktu untuk berbagi tugas dengan pasangan kita. Sementara bagi istri, tidak lantas latah, ikut-ikutan meneriakkan feminisme, yang sebenarnya racun bagi rumah tangga kita.