Begini Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
SEBAGIAN besar ayat-ayat Al-Qur’an datang dalam bentuk yang umum (‘aammah), global (mujmalah) dan muthlaq. (lihat: Diraasaat fil Fikr al-Islaamiy, Ibraahim Zaid, hal. 93).
As-Sunnah kadang berfungsi sebagai tafshiil (perincian) dari keglobalan Al-Qur’an; atau takhshiish (mengkhususkan) terhadap keumumannya; atau taqyiid (membatasi) bagi kemutlakannya; atau menyertakan hukum cabang baru yang asalnya (pokoknya) bersumber dari ayat (Al-Qur’an).
Allah berfirman:
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (QS. An Nahl [16]: 44)
Baca juga: As-Sunnah, Sumber Hukum Islam Setelah Al-Qur’an
Berikut penjelasan ringkas mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an, sebagaimana ditulis Ustaz Muhammad Husain Abdullah dalam bukunya “Dirasat fil Fikril Islami”:
Pertama: Memerinci keglobalan Al-Qur’an (tafshiil al-mujmal).
Contohnya adalah; tatkala Allah memerintahkan untuk melakukan shalat, maka Allah berfirman: “Dan dirikanlah shalat…” (QS. An Nuur [24]: 56) tanpa ada penjelasan (bayaan) tentang waktu-waktu, rukun-rukun, dan jumlah rakaatnya.
Maka dalam hal ini As-Sunnah menjelaskannya dengan terperinci. Rasulullah Saw bersabda: Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Begitu juga dalam soal haji. Beliau juga bersabda: “Ambillah dariku mengenai manasik yang kalian akan kerjakan.”
Kedua: Mengkhususkan keumuman Al-Qur’an (takhshiish ul ‘aamm).
Misalnya firman Allah:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ
Bagi wanita pezina dan lelaki pezina maka jilidlah masing-masing dari mereka dengan 100 kali jilidan. (QS. An Nuur [24]: 2).
Ayat ini mengandung pengertian umum untuk seluruh pezina. Kemudian, perbuatan dan perkataan Rasul datang menghususkan keumuman ayat tersebut, yakni, bagi pezina yang belum menikah (ghayru mutazawiijiin). Mengenai orang-orang yang sudah menikah (al mutazawiijuun), maka bagi mereka dikenai hukum rajam sampai mati. Rasul sendiri pernah merajam Maa’iz dan Al-Ghaamidiyyah. Rasulullah Saw bersabda:
Tidaklah halal menumpahkan darah seorang muslim kecuali ia adalah salah satu di antara ketiga kelompok ini, yakni laki atau perempuan yang telah beristri atau bersuami yang berzina, jiwa dengan jiwa (pembunuh), dan orang yang meninggalkan agamanya, serta memecah belah kesatuan al jamaa’ah. (Muttafaq ‘alaih)
Ketiga: Membatasi (taqyiid) kemuthlaq-an Al-Qur’an.
Allah berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا
Bagi pencuri lelaki dan wanita, maka potonglah tangan dari kedua orang itu. (QS. Al Maidah [5]: 38).
Ayat tersebut mengandung pengertian mutlak, mencakup seluruh pencurian dan seluruh pencuri. Namun demikian As-Sunnah datang membatasi pencurian tersebut, dengan sabda Rasulullah Saw: Potong tangan hanya dilakukan bagi pencurian yang kadarnya telah mencapai ¼ dinar atau lebih. (Muttafaq ‘alaih);
Juga jika pencuri tersebut telah mengeluarkan barang yang dicurinya dari tempat penyimpanan, yakni tempat yang biasanya dijadikan tempat penyimpanan harta, dan serta taqyid-taqyid lainnya yang telah dijelaskan dalam Sunnah.
Keempat: Menyertakan hukum cabang baru yang yang pokoknya bersumber dari Al-Qur’an.
Allah berfirman:
وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ
dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. (QS. An-Nisa’[4]: 23)
Rasul Saw kemudian menyertakan hukum ini dengan hukum haramnya menggabungkan seorang wanita dengan bibinya (baik saudara dari pihak bapak atau ibu) dengan sabda beliau Saw:
“Janganlah mengumpulkan (menikahi) wanita, antara bibinya dan keponakannya. Sesungguhnya jika kalian melakukannya maka kalian telah memutuskan silaturrahim.” [SR]