Begini Cara Islam Menjaga Kehormatan Wanita
CIVILITA.COM – Islam memiliki seperangkat cara untuk menjaga kehormatan wanita. Penjagaan ini dilakukan melalui hukum-hukum syariat yang ditetapkan khusus untuk mereka. Jika aturan ini dilaksanakan, kehormatan wanita benar-benar akan terjaga. Wanita akan berada di posisi yang sangat mulia.
Diantara sejumlah ketentuan itu diantaranya:
Pertama, Islam menetapkan adanya dua kehidupan bagi wanita, yaitu kehidupan khusus (al hayaat ul khaash) di dalam rumah dan kehidupan umum (al hayaat ul ‘aammah) di luar rumah. Dalam kehidupan umum, Islam menuntut wanita memakai pakaian tertentu untuk menutupi tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangan. Sabda Rasul Saw, “Sesungguhnya seorang gadis (al jaariyah) jika telah haid, maka tidak boleh terlihat darinya keculai muka dan tangannya hingga pergelangan (mafshil).” Al jaariyah di sini bermakna al bintu (anak perempuan).
Kedua, Islam melarang wanita melakukan perjalanan (safar) panjang seorang diri. Sabda Rasul saw, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat untuk melakukan perjalanan satu hari satu malam kecuali bersama muhrimnya.” Muhrim disini adalah suami, anak, saudara laki laki dan lain-lain.
Ketiga, Islam melarang al-t(bersepi-sepian) antara laki laki dan wanita tanpa ada mahram bagi wanita itu. Sabda Rasul saw: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali disertai mahram.”
Keempat, Islam melarang wanita untuk melakukan at tabarruj (bersolek) di dalam kehidupan umum. Tabarruj adalah menampakkan perhiasan kepada laki-laki asing (yang bukan mahram, penerj.). Firman Allah Swt: “…dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu…” (QS. Al Ahzaab [33]: 33).
Kelima, Islam mengharamkan wanita melakukan ikhthilaath (bercampur baur) dengan laki-laki asing. Akan tetapi, Islam membolehkan adanya ijtimaa’ pertemuan dengan kaum lelaki asing itu dalam urusan-urusan yang diperbolehkan oleh syara’ seperti shalat, haji, jual beli, ataupun pendidikan.
Ikhthilaath berbeda dengan ijtimaa’, karena ijtimaa’ adalah duduk di suatu tempat dan di bawah satu atap tanpa adanya pembatas fisik (seperti dinding, penerj.) antara keduanya. Misalnya duduk di ruang belajar atau di mesjid dalam rangka belajar dan shalat. Kaum lelaki duduk di satu sisi dan wanita pada sisi yang lain atau laki-laki berada di shaff bagian depan dalam mesjid, kemudian anak-anak laki-laki dan kemudian baru wanita. Adapun ikhthilaath adalah duduk dan bercakap-cakap bersama dalam suatu obrolan dan untuk hiburan.
Selain memiliki hukum-hukum tersendiri dalam pergaulan, wanita dan laki-laki sama di dalam sebagian besar takliif syar’iyyah;
Pertama, wanita mendapatkan hak-hak yang sama dengan pria. Wanita berhak untuk memiliki sesuatu dan mengembangkan harta dengan cara berdagang, industri, atau pertanian.
Kedua, wanita memiliki hak untuk menduduki salah satu jabatan dalam negara seperti urusan pendidikan, pengadilan, dan kedokteran.
Umar bin Khatab pernah meminta Asy Syifaa binti ‘Abdullah al Makhzumiyah, seorang wanita dari kaumnya, sebagai seorang qadhi pada sebuah pasar di Madinah. Tidak seorangpun sahabat yang mengingkari hal ini, sehingga hal ini telah menjadi ijmaa’ (kesepakatan), sedangkan ijmaa’ para sahabat adalah dalil syar’iy. Para wanita pada masa Rasul saw ikut berperan serta dalam banyak peperangan untuk melakukan pengobatan kepada orang-orang yang terluka dan mengatur urusan-urusan mereka (yang terluka).
Ketiga, wanita memiliki hak untuk menjadi salah satu anggota Majlis Syura. Alasannya adalah, Rasul Saw dahulu jika menghadapi suatu musibah, maka beliau Saw memanggil umat Islam ke masjid baik laki-laki maupun wanita dan beliau mendengarkan pendapat mereka semuanya. Selain itu Rasul Saw juga bermusyawarah dengan istrinya Ummu Salamah dalam perjanjian Hudaibiyah.
Demikianlah, Islam telah menempatkan wanita pada posisinya yang layak. Isalam telah mengkhususkan kepada wanita beberapa perkara dan membolehkan wanita untuk bekerjasama dengan laki-laki dalam perkara yang lain. Sebab, Allah—yang telah menciptakan wanita—lebih mengetahui apa yang cocok dan sesuai dengan pembentukannya (takwiin). Dia pulalah yang akan meng-hisaab wanita sesuai dengan apa yang telah Dia bebankan kepada wanita.
Firman Allah Swt: ”Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan“ (QS. Ali ‘Imraan [3]: 195).
Metode Islam dibangun atas landasan bahwa ada perbedaan yang sangat tegas antara laki-laki dan wanita. Laki-laki dibekali dengan sifat kelelakiannya. Sedangkan wanita dibekali dengan sifat kewanitaannya. Sehingga, pada saat itu laki-laki dapat membahagiakan wanita, dan sebaliknya, wanita dapat membahagiakan laki-laki. Oleh karena itu Islam telah membedakan keduanya dalam hal pendidikan dan muamalah, sebagaimana Allah telah membedakan keduanya dalam hal pembentukannya. [MSR]