Anak Muda Manja? Ke Laut Aja!
CIVILITA.COM – Ada sebagian anak-anak muda, khususnya cowok yang menyandang predikat anak mami. Mereka biasanya menghabiskan waktunya lebih banyak dengan ibunya. Sejak kecil dia terbiasa bercerita dan mendengar banyak cerita dari ibunya. Fenomena ini akan lebih parah di era kapitalisme sekarang ini, ketika orang tua khususnya ayah, lebih banyak sibuk bekerja diluar, dan menyerahkan sepenuhnya urusan anak kepada ibunya. Pun keadaannya akan sama, kalau ternyata si ibu juga sibuk diluar rumah, entah bekerja atau aktivitas sosial, sementara urusan anak diserahkan kepada pembantu, maka segala fasilitas dan keinginan anak akan dipenuhi. Saat itulah peluang jadi anak manja jadi makin terpenuhi.
“Kan bagus, kalo dekat dengan mami, berarti menghormati mami, apalagi sama pasangannya nanti”. Iya, kalau pada sisi itu bisa jadi ada positifnya. Tapi jika porsi ibu terlalu dominan memperhatikan detil pada persoalan anak lelakinya, dan lebih terkesan mendikte, maka si anak lelaki akan jadi anak manja. Akibatnya, si anak merasa tidak mandiri atau tidak pernah belajar berdikari. Segalanya ditentukan oleh ibunya, bahasa ekstremnya ‘pokoke apa kata ibu’.
Nah, sebagai anak laki-laki, tentu tidak ingin dan tidak boleh jadi anak manja seperti yang diuraikan tadi. Kenapa?
Pertama: Secara umum, seseorang baik itu anak ataupun orang tua, akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya sendiri-sendiri. Tidak ada dosa warisan dalam Islam, sehingga segala perbuatan kita yang melakukan, kita yang harus mempertanggungjawabkan. “…dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain …” (QS. Al An’am: 164).
Kedua: Apa yang kita lakukan dalam hidup ini adalah karena hasil pilihan kita, bukan pilihan orang lain, pun juga orang tua kita. “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Radu: 11).
Ketiga: Laki-laki dalam pandangan Islam adalah pemimpin. Bukan sebagai bentuk dominasi laki-laki kepada perempuan, tapi ini sebagai sebuah kewajiban dan kefitrahan. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)” (QS. An Nisaa: 34).
Keempat: Anak laki-laki adalah calon penanggungjawab pemimpin bagi keluarganya, pencari nafkah untuk anak istrinya, maka anak laki-laki harus belajar mandiri. “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf.” (QS. Al Baqarah: 233).
Kelima: Secara pandangan fikih, ketika anak laki-laki sudah baligh maka pertangungjawaban mencari nafkah sendiri ada ditangannya. Berbeda dengan anak perempuan, yang akan ditanggung nafkahnya ketika dia sudah menikah. Makanya dalam Islam kewajiban bekerja itu ada di pihak laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak harus alias mubah-mubah saja.
Sehingga, laki-laki harus bisa diandalkan, kalau memang mau sayang sama ibu, tidak harus jadi anak manja. [lukyrouf]